kejujuran1Kata kunci etika dan moralitas adalah kejujuran. Jujur untuk mengungkapkan apa adanya tanpa harus menutupinya oleh alasan apapun, termasuk alasan dan ketakutan akan rasa malu karena harus menanggung resiko dari kejujuran. Satu diantara sekian resiko kejujuran adalah menerima kenyataan “pahit” yang harus ditanggung oleh para pelaku kejujuran. Tidak berarti bahwa setiap kejujuran itu harus dibayar dengan harga “pahit”, banyak orang kemudian dimuliakan dan mendapatkan tempat terhormat karena kejujurannya.

Terkadang, demi status sosial, gengsi dan ego maka sebagian orang mencari jalan pintas untuk lebih memilih berbohong daripada mengungkapkan sebuah kejujuran. Jujur sangat identik dengan kebenaran. Mengungkapkan kejujuran sama halnya mengungkapkan kebenaran. Sebaliknya, kebohongan atau dusta itu identik dengan bermuka dua ibarat pepatah, “musang berbulu domba”.

Ketika dihadapkan pilihan antara jujur atau prestasi, secara pragmatis pilihannya adalah prestasi. Mengapa ? karena dengan prestasi seseorang punya “status sosial”, pujian sebagai siswa terbaik walau harus nyontek, punya rumah mewah dari hasil ngemplang pajak, seakan keluarga bahagia walau hidup dengan selingkuh, gelar doktor hingga professor dengan cara plagiat. Semua itu seakan prestasi. Prestasi yang diperoleh dengan cara mengabaikan kejujuran.

Pudarnya pesona kejujuran demi prestasi berbalut dusta, tentu menjadi aib bagi dunia pendidikan. Salah satu pepatah menyebutkan ” pribadi seseorang itu akan tampak apabila ia berbicara, apabila terucap perkataan yang baik dari lisannya maka baiklah ia, begitu pula sebaliknya”.

Refleksi terhadap realitas masyarakat pada saat ini, dimana begitu mudahnya mereka mengobral janji dan perkataan, tanpa memahami makna dari sebuah perkataan. Manusia pada saat ini berlomba-lomba dalam mencapai kebutuhan dengan menempuh berbagai macam cara, termasuk diantaranya dengan jalan berdusta. Seorang wartawan misalnya, yang menyebarkan berita yang tidak benar alias kabar dusta, dengan tujuan beritanya laku dikonsumsi khalayak ramai, begitu juga dengan seorang politikus, yang tak henti-hentinya mengobral janji-janji dusta, guna menarik simpati dan dukungan dari masyarakat, atau bahkan memfitnah guna menjatuhkan lawan politiknya, begitu juga halnya dengan pedagang, yang bermain curang dalam takarannya, yang kemudian bermain harga hanya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

“Perkataan orang berakal bermula dari hatinya, sedang perkataan orang yang jahil berawal dari lisannya dan berbicara sesuka hatinya”. Artinya, orang cerdas tentulah akan berfikir terdahulu dalam berbicara, dan sesuai dengan kata hatinya karena fitrah dari hati manusia adalah kebajikan, sebaliknya orang yang bodoh itu tidak berfikir dalam berbicara sehingga perkataan yang keluar dari mulutnya hanya omong kosong belaka. Simpulannya adalah hanya orang bodoh yang berkata dusta, sedangkan orang yang menyadari kecerdasannya tentu adalah orang-orang yang jujur.

Kejujuran… sering diibaratkan sebagai mata uang yang akan berlaku dimanapun tempat, yang tidak terbatasi oleh ruang, wilayah, Negara bahkan oleh waktu, karena bernilai dan memang dibutuhkan. Kejujuran…sama halnya kebenaran… acap kali sering terdesak oleh kuatnya ambisi kekuasaan dan pengaruh duniawi, namun dapat diyakini bahwa kejujuran dan kebenaran itu tidak akan pernah dapat dimusnahkan/termusnahkan. Bahkan orang yang berbuat salah dan dosa sekalipun akan dianggap benar, karena kejujurannya mau mengakui semua kesalahan yang diperbuat.

Katakanlah kejujuran itu walaupun itu pahit. Ibarat obat, terkadang semakin obat itu pahit, maka semakin manjur untuk menyembuhkan penyakit. Kejujuran akan menyembuhkan setiap orang dari segala bentuk penyakit hati, kemunafikan, ria, dengki dan berbagai penyakit hati lainnya.

Tinggalkan komentar